1.
ADAT ISTIADAT MELAYU
Adat
adalah tata cara yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala aspek
kehidupannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat
segala kegiatan kehidupannya diatur oleh adat.
Jika ditinjau dari sumbernya, orang melayu dalam arti luas mengenal kepada dua macam adat. Kedua macam adat itu ialah:
1. Adat temenggungan
2. Adat perpatih
Adat temenggungan adalah warisan Datuk Temenggung. Adat temenggungan mengandung sistem patrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan keturunan bapak. Orang Melayu Kepulauan Riau menggunakan adat temenggungan ini. Sedangkan adat Perpatih merupakan warisan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Adat Perpatih mengembangkan sistem matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan pada keturunan ibu. Adat perpatih berlaku dalam sebagian masyarakat melayu Riau Daratan.
Jika ditinjau dari sudut hirarkinya, adat melayu dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
Adat sebenar adap
1. Adat yang diadatkan
2. Adat yang teradat
Adat sebenar adat ialah prinsip-prinsip yang bersumber dari agama Islam. Aturan adat ini tiadalah dapat diubah-ubah. Adat yang pertama ini tersimpul dengan ungkapan “Berdiri adat karena syarak”.
Adat yang diadatkan ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh penguasa Melayu (Raja, Pemuka adat, dll). Adat sejenis ini dapat pula berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan ungkapan “Sekali air bah, sekali tepian berubah”.
Adat yang teradat ialah sikap, tindakan, dan putusan bersama atas dasar musyawarah yang dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi kebiasaan turun-temurun. Adat jenis ketiga ini pun dapat berubah sesuai dengan kehendak zaman.
Dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau, ketiga jenis adat di atas berlaku dalam mengatur kehidupan keseharian. Di kampung-kampung, aturan adat tersebut masih banyak yang diperhatikan dan di indahkan, tetapi di daerah perkotaan mengalami kecendrungan agak melonggar.
Jika ditinjau dari sumbernya, orang melayu dalam arti luas mengenal kepada dua macam adat. Kedua macam adat itu ialah:
1. Adat temenggungan
2. Adat perpatih
Adat temenggungan adalah warisan Datuk Temenggung. Adat temenggungan mengandung sistem patrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan keturunan bapak. Orang Melayu Kepulauan Riau menggunakan adat temenggungan ini. Sedangkan adat Perpatih merupakan warisan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Adat Perpatih mengembangkan sistem matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan pada keturunan ibu. Adat perpatih berlaku dalam sebagian masyarakat melayu Riau Daratan.
Jika ditinjau dari sudut hirarkinya, adat melayu dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
Adat sebenar adap
1. Adat yang diadatkan
2. Adat yang teradat
Adat sebenar adat ialah prinsip-prinsip yang bersumber dari agama Islam. Aturan adat ini tiadalah dapat diubah-ubah. Adat yang pertama ini tersimpul dengan ungkapan “Berdiri adat karena syarak”.
Adat yang diadatkan ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh penguasa Melayu (Raja, Pemuka adat, dll). Adat sejenis ini dapat pula berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan ungkapan “Sekali air bah, sekali tepian berubah”.
Adat yang teradat ialah sikap, tindakan, dan putusan bersama atas dasar musyawarah yang dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi kebiasaan turun-temurun. Adat jenis ketiga ini pun dapat berubah sesuai dengan kehendak zaman.
Dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau, ketiga jenis adat di atas berlaku dalam mengatur kehidupan keseharian. Di kampung-kampung, aturan adat tersebut masih banyak yang diperhatikan dan di indahkan, tetapi di daerah perkotaan mengalami kecendrungan agak melonggar.
KEBUDAYAAN
Kebudayaan ialah akal-budi manusia yang dijelmakan ataupun digambarkan dalam wujud gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya perilaku, dan hasil karya Maka kebudayaan itu terdiri daripada tujuh unsur yang universal (Koentjaraningrat, 1983 : 2).
Ketujuh unsur ialah sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan dan adat.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian
7. Sistem teknologi
Maka dengan demikian kebudayaan itu dapatlah dikelompokkan atas dua kelompok besar (utama).
1. Pertama, disebut kebudayaan warisan.
2. Kedua, kebudayaan yang hidup.
Pakaian Tradisional Melayu Riau
Kebudayaan ialah akal-budi manusia yang dijelmakan ataupun digambarkan dalam wujud gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya perilaku, dan hasil karya Maka kebudayaan itu terdiri daripada tujuh unsur yang universal (Koentjaraningrat, 1983 : 2).
Ketujuh unsur ialah sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan dan adat.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian
7. Sistem teknologi
Maka dengan demikian kebudayaan itu dapatlah dikelompokkan atas dua kelompok besar (utama).
1. Pertama, disebut kebudayaan warisan.
2. Kedua, kebudayaan yang hidup.
Pakaian Tradisional Melayu Riau
A. PAKAIAN HARIAN
Pakaian harian adalah pakaian yang
dipakai setiap hari oleh orang melayu baik pada masa kanak-kanak, remaja
(setengah baya), orang dewasa maupun orang tua-tua. Pakaian harian ini dipakai
waktu melaksanakan kegiatan sehari-hari, baik untuk bermain, ke ladang, ke
laut, di rumah, maupun kegiatan lainnya dalam kehidupan dimasyarakat.
Berdasarkan kelompok pemakainya pakaian harian dapat kita bagi dalam beberapa kelompok
yaitu :
1. Pakaian Anak-anak
Anak Laki Laki
Pakaian anak yang masih kecil
dikenakan dengan pakaian baju monyet. Bila meningkat besar dikenakan baju
kurung teluk belanga atau cekak musang. Kadang ada yang memakai celana setengah
atau di bawah lutut dilengkapi dengan songkok atau kopiah dan tutup kepala dari
kain segi empat yang dilipat
Anak Perempuan
Untuk anak perempuan yang belum akil
baliq, mereka memakai baju kurung satu stel dengan bermotif bunga-bunga satu
corak. Untuk anak perempuan yang sudah akil baliq mereka mengenakan pakaian
sesuai menurut adat istiadat Melayu yang mempunyai tiga identitas yaitu :
Beradat Istiadat Melayu, Beragama Islam, Berbahasa Melayu. Tiga identitas
tersebut merupakan ciri khas ang mendasari dasar marwah sebagai aak perempuan
sejak kecil hingga dewasa telah dididik dan ditekankan adab sopan santun dan
taat beragama menurut syariat islam
sehingga berpakaian telah diatur
secara adat dan agama.
2. Pakaian Dewasa (Akil Baliq)
Pakaian harian untuk anak lelaki
yang sudah akil baliq adalah baju kurung cekak musang atau teluk belanga tulang
belut. Sedangkan untuk perempuan mengenakan pakaian baju kurung laboh, baju
kebaya pendek, dan baju kurung tulang belut. Stelan memakai baju kurung ini
adalah kain batik, dan untuk tutup kepala berupa selendang atau kain tudung
lingkup yang dipakai jika untuk keluar rumah.
3. Pakaian Orang Tua-tua dan setengah baya
Pakaian orang tua-tua perempuan
setengah baya adalah baju kurung yang disebut baju kurung tulang belut. Baju
longgar dan lapang dipakai. Selain itu ada juga baju kurung, ada kebaya labuh
panjangnya hingga ke bawah lutut dan agak longgar. Kedua bentuk baju ini
memakai pesak dan kekek. Lalu ada juga baju kebaya pendek yang biasa dipakai
untuk ke ladang maupun untuk di rumah.
B. PAKAIAN RESMI
Pakaian resmi lelaki baju kurung
cekak musang yang dilengkapi dengan kopiah. Kain samping yang terbuat dari kain
tenun dari Siak, Indragiri, Daik, Terengganu, atau lainnya yang dibuat dan
bermotifkan ciri khas budaya Melayu. Pakaian resmi ini digunakan diacara
pertemuan resmi kerajaan , dan pada masa sekarang digunakan pada saat acara
undangan pemerintahan, seperti undangan memperingati hari jadi Provinsi Riau ,
yang pada undangan selalu ditulis
berbusana melayu.
Sedangkan untuk perempuan adalah baju kurung kebaya labuh dan baju kurung teluk belanga atau juga baju kurung cekak musang. Untuk kainnya menggunakan kain songket atau kain pilihan seperti tenunan siak, tenunan indragiri, trengganu dll. Untuk kepala rambutnya disiput jonget, lintang, lipat pandan. Pada siput dihiasi dengan bunga melur, bunga cinga atau diberi permata. Kepala ditutup dengan selendang, dibelitkan keleher. Rambut tak tampak, dada tertutup.
C. PAKAIAN MELAYU DALAM UPACARA ADAT
Adat istiadat yang tumbuh dan
berkembang dalam satu kesatuan wilayah adat lambat laun akan berbagai
ketentuan, aturan, dan tata cara adat, alat dan perlengkapan upacara, pakaian
adat dll, sehingga menjadi ciri khas atau jati dirinya.
Dalam hal pakaian adat , setiap wilayah kesatuan adat membakukan secara lengka pakaian adat wilayah kesatuan adatnya, dengan lambang-lambang dan makna yang terkandung di dalamnya.
Adat di Riau walaupun terdapat
beberapa wilayah kesatuan adat,acuan dasarnya tetap sama seperti yang tercermin
dalam ungkapan melayu “Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”,
ungkapan ini menyatakan kesamaan landasan adat istiadat dalam disetip wilayah
kesatuan adat.
Pakaian adat ini dipakai dalam
upacara adat yang pada masa lalu dipakai di kerajaan-kerajaan di kawasan
Bumi Melayu, seperti untuk: upacara penobatan raja, pelantikan menteri, orang
besar kerajaan dan datuk-datuk, upacara menjunjung duli, penyambutan tamu-tamu
agung dan tamu-tamu dihormati, upacara adat menerima anugerah dan penerimaan
persembahan dari rakyat dan negeri-negeri sahabat.
Tata berpakaian secara adat dalam
upacara adat dapat dibedakan sebagai berikut. Pakaian adat dalam acara nikah
dan perkawinan, pakaian upacara adat, pakaian Melayu sebagai mempelai
pengantin, pakaian ulama dan upacara keagamaan.
D. PAKAIAN DALAM UPACARA PERKAWINAN
Bentuk pakaian Melayu pesisir, kepulauan,
dan daratan Riau tidaklah berbeda terlalu jauh. Untuk upacara perkawinan
ini pakaian yang dikenakan oleh pengantin lelaki dan perempuan daerah pesisir,
kepulauan dan daratan ini ditentukan oleh prosesi pernikahan. Misalnya pakaian
yang dikenakan untuk akad nikah berbeda dengan pakaian yang dikenakan pada
malam berinai, pada hari besar, dan seterusnya.
Umumnya untuk pakaian mempelai
lelaki bentuk bajunya adalah baju cekak musang atau baju kurung teluk belanga.
Kecuali daerah Lima Koto Kampar baju pengantin lelakinya berbentuk jubah.
Sedangkan untuk perempuan, pada
acara malam berinai memakai kebaya labuh atau memakai baju kurung teluk belanga
dari bahan tenunan, sutra, saten, atau borkat. Sedangkan kain yang dipakai tenunan
dari Siak, Indragiri, Daik, atau Trengganu.
2. ADAT ISTIADAT PAPUA BARAT
Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat
istiadat, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar,
masing-masing:
1. Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan
ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan mata pencaharian
menokok sagu dan menangkap ikan);
2. Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah
sungai, rawa danau dan lembah serta kaki gunung. Umumnya mereka bermata
pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan;
3. Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak secara sederhana.
3. Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak secara sederhana.
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku
dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah
terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani, dan Sentani. Sumber
berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih
baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya
maru, Mandacan, Biak, Arni, Sentani, dan
lain-lain.
Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat berpenduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah
masyarakat yang sangat unik, misalnya seperti yang ditunjukan oleh budaya suku
Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat genderang dengan menggunakan darah.
Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang
dalam bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan
di jadikan festival budaya lembah Baliem. Ada
juga rumah tradisional Honai, yang didalamnya terdapat mummy yang di awetkan
dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy Aikima berusia
350 tahun, mummy Jiwika 300 tahun, dan mummy Pumo berusia 250 tahun.
Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat
upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari
rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian
seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya suku Asmat dengan
ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara. Ukiran asmat
mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing:
1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
3. Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benda-benda lain;
4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.
Budaya suku Imeko di kabupaten Sorong Selatan
menampilkan tarian adat Imeko dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat
memperingati hari tertentu seperti panen tebu, memasuki rumah baru dan lainnya.
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat
beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya
beragama Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi
dari dan ke Papua, jumlah orang dengan agama lain termasuk Islam juga semakin
berkembang. Banyak misionaris yang melakukan misi keagamaan di
pedalaman-pedalaman Papua.
Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat,
baik melalui sekolah misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan langsung
dalam bidang pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan praktis
lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke
daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler.
Warna Kuning Keemasan , melambangkan kebesaran dan
kewibawaan dan kemegahan serta kekuasaan
Warna kuning keemasan pada zaman kerajaan Siak,Kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Pelalawan adalah warna larangan dn tabu bagi masyarakat biasa jika memakainya. Yang memakai warna kuning keemasan adalah Sultan atau Raja suatu negeri dari kerajaan Melayu. Permaisuri Kerajaan atau istri Sultan memakai kuning keemasan pada upacara -upacara kerajaan.
Warna kuning keemasan pada zaman kerajaan Siak,Kerajaan Riau Lingga, Kerajaan Indragiri dan Kerajaan Pelalawan adalah warna larangan dn tabu bagi masyarakat biasa jika memakainya. Yang memakai warna kuning keemasan adalah Sultan atau Raja suatu negeri dari kerajaan Melayu. Permaisuri Kerajaan atau istri Sultan memakai kuning keemasan pada upacara -upacara kerajaan.
Warna Hijau Lumut, melambangkan kesuburan dan
kesetiaan, taat serta patuh, terhadap ajaran agama.
Warna Pakaian Hijau Lumut dipakai oleh kaum-kaum bangsawan, Tengku, Encik, dan Wan.
Warna Pakaian Hijau Lumut dipakai oleh kaum-kaum bangsawan, Tengku, Encik, dan Wan.
Warna Merah Darah Burung, melambangkan kepahlawanan dan
keberanian, patuh dan setia terhadap raja dan rakyat. Warna Merah dari darah
burung memancarkan kecemerlangan.
Warna Hitam, melambangkan kesetiaan, ketabahan
dan bertanggung jawab serta jujur. Baju warna Hitam dipakai oleh datuk dan orang
besar kerajaan dalam upacara adat kebesaran kerajaan
KEPI (MAPPI) - Tanah Papua memang
menyimpan sejuta pesona. Selain hutan rimbanya yang misterius, budaya yang
berlindung dibalik rerimbunan chlorophyl juga sangat menawan. Selain flora dan
fauna yang masih lestari ditambah panorama alam yang sedap dipandang mata, Bumi
Cendrawasih ini juga memiliki keunikan yang tidak banyak diketahui oleh orang
banyak. Jauh dipedalaman rimba Papua, tepat selatan dikaki Pegunungan
Jayawijaya tepatnya di wilayah Kabupaten Mappi terdapat suku Korowai yang
tinggal di pesisir sungai Brazza. Kurang lebih 3.000 orang yang tergabung dalam
masyarakat suku Korowai tinggal dengan cara yang masih sangat tradisional dan
menjaga adat istiadat yang mereka percaya. Suku Korowai adalah suku yang
tinggal di tanah Indonesia.
Secara geografis, masyarakat Korowai adalah penduduk Indonesia. Namun jangan tanyakan
hal tersebut oleh masyarakat Korowai, berada di perkampungan masyarakat Korowai
seakan berada di tempat lain yang tidak terpetakan. Menuju ke tempat ini pun
harus ditempuh dengan perjalanan udara, menelusuri sungai, berjalan kaki
menembus belantara serta melewati rawa dan lumpur. Secara lokasi, dapat
dipastikan kehidupan masyarakat Korowai masih sangat tradisional. Tidak ada
rumah sakit atau fasilitas umum lainnya. Semua seakan menyatu dengan alam yang
menjadi nilai luhur masyarakat Korowai. Uniknya tidak hanya cara hidup yang
masih tradisional, masyarakat Korowai juga dikenal dengan sebutan “manusia
pohon” karena rumah mereka memang berada diatas pohon. Diatas ketinggian hingga
mencapai 20 meter, masyarakat Korowai tinggal lazimnya orang yang tinggal di
rumah pada umumnya. Uniknya, lokasi rumah yang berada diketinggian pohon tersebut,
tidak menjadi masalah bagi para penghuninya termasuk orang tua (kakek, nenek)
anak kecil, ibu yang menggendong bayi hingga wanita hamil sekalipun. Rumah
pohon yang ditinggali masyarakat Korowai terbuat dari kayu yang diambil dari
sekitar hutan. Cara membangun rumah ini pun masih menggunakan metode
tradisional dengan menggunakan kapak yang terbuat dari batu. Rumah pohon bagi
masyarakat Korowai adalah hal yang sangat krusial dalam kehidupan. Rumah Pohon
dibuat untuk menghindari serangan binatang buas serta nyamuk penyebar malaria.
Selain itu, rumah pohon juga sangat berguna untuk mengontrol hewan perburuan
seperti babi hutan. Selain alasan tersebut, alasan adat mungkin menjadi alasan
kuat mengapa suku Korowai masih mempertahankan rumah pohon hingga saat ini. Hal
tersebut mungkin yang membuat suku Korowai merasa nyaman untuk tinggal dirumah
pohon tersebut karena mengandung nilai adat istiadat yang tinggi dan dijaga
secara turun temurun. Masyarakat Korowai sering dianggap terbelakang dari
perkembangan sosial yang terjadi pada ranah domestik maupun internasional.
Namun masyarakat Korowai ini adalah bukti nyata kepedulian sebuah tatanan adat
istiadat yang sangat menghargai dan menghormati budaya serta alam yang selama
ini menjadi nilai dasar kehidupan mereka. Selain itu, keunikan rumah pohon yang
menjadi tempat tinggal masyarakat Korowai juga menjadi simbol pentingnya
kebudayaan dan adat istiadat sebagai tulang punggung
kehidupan.[PalingIndonesia| PalingIndonesia]
Pakaian Pernikahan Adat Papua
Umumnya
Hello bees,,!!
Adat istiadat Papua masih dilestarikan di berbagai belahan bumi cendrawasih, misalkan busana atau pakaian adat pernikahan yang dikenakan.
Busana atau pakaian pernikahan adat Papua juga tak kalah menariknya dengan susunan upacara pernikahan yang digelar. Biasanya busana yang dipakai sebagai pakaian pernikahan berbagai suku di Papua dibagi menjadi tiga macam.
Pertama, adalah pakaian pernikahan yang dikenakan oleh sepasang mempelai serta keluarga mempelai.
Berikutnya adalah pakaian yang dikenakan oleh para tetua adat dan agama.
Dan yang terkhir adalah pakaian yang dikenakan oleh ratusan masyarakat yang ikut meramaikan upacara pernikahan.
☞ Pakaian Pernikahan Mempelai
Pakaian pernikahan yang dikenakan oleh kedua mempelai adalah busana putih-putih, merah-kecoklatan. Orang Papua memang menyenangi warna putih dalam berbusana, hal ini merupakan suatu perkembangan yang berjalan seiring dengan waktu.
Meski mereka tetap menyukai warna-warna meriah dan corak khas Papua, seperti manik-manik atau hiasan bulu cendrawasih. Kombinasi warna yang dipakai disimbolkan oleh corak warna bulu burung cendrawasih.
☞ Pakaian Tetua Adat dan Agama
Yang dikenakan oleh para tetua adat dan agama adalah berbeda. Tetua Adat biasanya menggunakan pakaian adat Papua tradisionil, bulu cendrawasih dan hiasan taring babi. Sedangkan Tetua Agama mengenakan jubah kuning flannel yang seragam dan senada.
☞ Pakaian Pernikahan Masyarakat
Masyarakat setempat yang menjadi pengiring mempelai biasanya mengenakan pakaian biasa atau baju terbaik mereka. Atau bila tidak, pada umumnya mengenakan sarung tenunan lokal dengan atasan baju biasa atau baju berwarna putih – yang menandakan kesucian.
Adat istiadat Papua masih dilestarikan di berbagai belahan bumi cendrawasih, misalkan busana atau pakaian adat pernikahan yang dikenakan.
Busana atau pakaian pernikahan adat Papua juga tak kalah menariknya dengan susunan upacara pernikahan yang digelar. Biasanya busana yang dipakai sebagai pakaian pernikahan berbagai suku di Papua dibagi menjadi tiga macam.
Pertama, adalah pakaian pernikahan yang dikenakan oleh sepasang mempelai serta keluarga mempelai.
Berikutnya adalah pakaian yang dikenakan oleh para tetua adat dan agama.
Dan yang terkhir adalah pakaian yang dikenakan oleh ratusan masyarakat yang ikut meramaikan upacara pernikahan.
☞ Pakaian Pernikahan Mempelai
Pakaian pernikahan yang dikenakan oleh kedua mempelai adalah busana putih-putih, merah-kecoklatan. Orang Papua memang menyenangi warna putih dalam berbusana, hal ini merupakan suatu perkembangan yang berjalan seiring dengan waktu.
Meski mereka tetap menyukai warna-warna meriah dan corak khas Papua, seperti manik-manik atau hiasan bulu cendrawasih. Kombinasi warna yang dipakai disimbolkan oleh corak warna bulu burung cendrawasih.
☞ Pakaian Tetua Adat dan Agama
Yang dikenakan oleh para tetua adat dan agama adalah berbeda. Tetua Adat biasanya menggunakan pakaian adat Papua tradisionil, bulu cendrawasih dan hiasan taring babi. Sedangkan Tetua Agama mengenakan jubah kuning flannel yang seragam dan senada.
☞ Pakaian Pernikahan Masyarakat
Masyarakat setempat yang menjadi pengiring mempelai biasanya mengenakan pakaian biasa atau baju terbaik mereka. Atau bila tidak, pada umumnya mengenakan sarung tenunan lokal dengan atasan baju biasa atau baju berwarna putih – yang menandakan kesucian.
3. SUKU BATAK KARO DAN NIAS
BERBAGAI PAKAIAN ADAT BATAK KARO DAN
FUNGSINYA
Berikut ini adalah jenis-jenis
pakaian/ uis adat Batak Karo sekaligus fungsinya dalam melanjalankan Upacara
Adat Batak Karo sebagai berikut :
1. UIS NIPES :
Untuk tudung, “maneh-maneh” (kado
untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan
sebagai alas “pinggan pasu” (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam
upacara adat.
2. UIS JULU :
Untuk sarung, “maneh-maneh”, untuk
mengganti pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.
3. UIS GATIP GEWANG :
Untuk menggendong bayi perempuan dan
“abit” (sarung) laki-laki
4. UIS GATIP JONGKIT :
Untuk “gonje” (sarung) upacara adat
bagi laki-laki dan selimut bagi “kalimbubu” (paman).
5. UIS GATIP CUKCAK :
Kegunaannya sama dengan gatip
gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini tidak pakai benang emas.
6. UIS PEMENTING :
Untuk ikat pinggang bagi laki-laki
7. UIS BATU JALA :
Untuk tudung bagi anak gadis pada
pesta “guro-guro aron”. Boleh juga dipakai laki-laki, tapi harus 3 lapis,
yaitu: uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.
8. UIS ARINTENENG :
Sebagai alas waktu menjalankan mas
kawin dan alas piring tempat makan pada waktu “mukul” (acara makan pada saat
memasuki pelaminan), untuk memanggil roh, untuk “lanam” (alas menjunjung kayu
api waktu memasuki rumah baru), untuk “upah tendi” (upah roh), diberikan
sebagai penggendong bayi dan alas bibit padi.
9. UIS KELAM – KELAM :
Untuk tudung orang tua, untuk
“morah-morah” (kado untuk laki-laki), dan boleh juga dipakai oleh laki-laki
dalam upacara adat, tapi disertai batu jala dan rambu-rambu.
10. UIS COBAR DIBATA :
Untuk upacara kepercayaan, seperti
“uis jinujung”, “berlangir” dan “ngelandekken galuh”.
11. UIS BEKA BULUH :
Untuk “bulang-bulang” diikatkan di
kepala laki-laki pada upacara adat.
12. UIS GARA :
Untuk penggendong anak-anak, tudung
untuk orang tua dan anak gadis.
13. UIS JUJUNG – JUJUNGEN :
Untuk melapisi bagian atas tudung
bagi kaum wanita yang mengenakan tudung dalam upacara adat.
Kebudayaan Pulau Nias
Suku Nias adalah sekelompok masyarakat yang hidup di pulau
Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri mereka "Ono
Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai
"Tanö Niha" (Tanö = tanah).
(red, ö = dibaca seperti konsonan e pada kata kepada dan é = dibaca seperti konsonan a,e,i,o,u).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai sekarang.
Menurut Mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas dikatakan bahwa kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Sedangkan berdasarkan penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari seorang nenek moyang. Pernikahan dalam satu marga tidak dibenarkan.
Adapun daftar marga yang ada di Pulau Nias klik di sini
Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;
2. Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
3. Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
4. Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;
5. Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.
LAMBANG DAN ARTINYA
a. Tulisan Tanö Niha yang terdapat di lambang kabupaten adalah nama resmi Kabupaten Nias dalam bahasa daerah Nias. Sedangkan tulisan DATATUWU dengan warna hitam adalah motto atau slogan atau semboyan Pemerintah Daerah Nias sebagai pemersatu untuk lebih membangkitkan semangat dan penyatuan tekad dalam meningkatkan laju Pembangunan Daerah Nias.
b. Buah kelapa dengan warna kuning coklat menunjukkan salah satu hasil bumi utama Daerah Nias, sedangkan jumlahnya yang 17 (tujuh belas) buah mengingatkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tanggal 17 (tujuh belas).
c. Mayang padi dan butirnya yang berjumlah 45 (empat puluh lima) buah mengingatkan tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tahun 45 (empat puluh lima).
d. Deretan Bukit Barisan yang kelihatan delapan buah berwarna hijau melambangkan keindahan alam Daerah Nias serta mengingatkan bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah bulan 8 (Agustus).
e. Gambar Bintang dengan warna kuning mencerminkan kehidupan kerohanian masyarakat Nias yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
KEBUDAYAAN
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat), Afulu (Nias Utara) sampai sekarang dan tempat ini dilindungi oleh Museum Pusaka Nias.
Di samping itu juga banyak memiliki corak kebudayaan diantaranya Omo ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), tari mogaele, (Baluse) tari Perang dan lain-lain.
1. Hombo Batu (Lompat Batu) yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat Nias dan meloncati susunan batu yang setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Ajang tersebut diciptakan untuk menguji fisik dan mental para remaja pria Nias menjelang usia dewasa
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.
Selain sebagai penguji fisik dan mental bagi pemuda yang berhak mengikuti perang, Tradisi Fahombo ini juga dinilai sebagai syarat bagi mereka yang siap menikah, karena bagi mereka yang tidak berhasil melompati batu tersebut dianggap belum pantas untuk meminang seorang gadis. Begitu terkenalnya tradisi lompat batu ini membuat tradisi ini pernah diabadikan pada pecahan uang seribu rupiah pada awal tahun 1990-an dengan gambar seorang pria Nias yang sedang melompati tugu batu.
2. Maena (Tari)
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.
Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri), bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971 http:www.niasonline.net, menandakan betapa tari maena sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan dalam acara-acara apa saja. Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian Sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional. Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga, sering dijumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias. Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus berkembang.
(red, ö = dibaca seperti konsonan e pada kata kepada dan é = dibaca seperti konsonan a,e,i,o,u).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai sekarang.
Menurut Mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas dikatakan bahwa kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Sedangkan berdasarkan penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Di pulau Nias juga dikenal istilah marga yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari seorang nenek moyang. Pernikahan dalam satu marga tidak dibenarkan.
Adapun daftar marga yang ada di Pulau Nias klik di sini
Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang memerintah;
2. Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
3. Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
4. Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö;
5. Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.
LAMBANG DAN ARTINYA
a. Tulisan Tanö Niha yang terdapat di lambang kabupaten adalah nama resmi Kabupaten Nias dalam bahasa daerah Nias. Sedangkan tulisan DATATUWU dengan warna hitam adalah motto atau slogan atau semboyan Pemerintah Daerah Nias sebagai pemersatu untuk lebih membangkitkan semangat dan penyatuan tekad dalam meningkatkan laju Pembangunan Daerah Nias.
b. Buah kelapa dengan warna kuning coklat menunjukkan salah satu hasil bumi utama Daerah Nias, sedangkan jumlahnya yang 17 (tujuh belas) buah mengingatkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tanggal 17 (tujuh belas).
c. Mayang padi dan butirnya yang berjumlah 45 (empat puluh lima) buah mengingatkan tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah tahun 45 (empat puluh lima).
d. Deretan Bukit Barisan yang kelihatan delapan buah berwarna hijau melambangkan keindahan alam Daerah Nias serta mengingatkan bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah bulan 8 (Agustus).
e. Gambar Bintang dengan warna kuning mencerminkan kehidupan kerohanian masyarakat Nias yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
KEBUDAYAAN
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat), Afulu (Nias Utara) sampai sekarang dan tempat ini dilindungi oleh Museum Pusaka Nias.
Di samping itu juga banyak memiliki corak kebudayaan diantaranya Omo ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), tari mogaele, (Baluse) tari Perang dan lain-lain.
1. Hombo Batu (Lompat Batu) yaitu tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat Nias dan meloncati susunan batu yang setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Ajang tersebut diciptakan untuk menguji fisik dan mental para remaja pria Nias menjelang usia dewasa
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.
Selain sebagai penguji fisik dan mental bagi pemuda yang berhak mengikuti perang, Tradisi Fahombo ini juga dinilai sebagai syarat bagi mereka yang siap menikah, karena bagi mereka yang tidak berhasil melompati batu tersebut dianggap belum pantas untuk meminang seorang gadis. Begitu terkenalnya tradisi lompat batu ini membuat tradisi ini pernah diabadikan pada pecahan uang seribu rupiah pada awal tahun 1990-an dengan gambar seorang pria Nias yang sedang melompati tugu batu.
2. Maena (Tari)
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.
Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri), bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971 http:www.niasonline.net, menandakan betapa tari maena sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan dalam acara-acara apa saja. Tidak salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh ono niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian poco-poco (Sulawesi) atau tarian Sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung budaya nasional. Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga, sering dijumpai maena pada acara pernikahan orang-orang Nias. Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus berkembang.
4. SUKU BETAWI
Penduduk asli Jakarta dengan ciri
utamanya mempergunakan bahasa Betawi sebagai bahasa ibu, tinggal dan
berkembang di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Terbentuk sekitar
abad ke-17, merupakan hasil dari campuran beberapa suku bangsa
seperti Bali, Sumatera,
China, Arab dan
Portugis. Dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-beda,
mereka mencoba mencari identitas bersama dalam bentuk lingua
franca bahasa Melayu yang
akhirnya terbentuk masyarakat homogen secara alamiah. Suku bangsa ini
biasa juga disebut Orang Betawi atau Orang Jakarta (atau Jakarte
menurut logat Jakarta).
Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia". Nama yang diberikan
oleh Belanda pada zaman penjajahan dahulu.
Jakarta, yang
terletak di pinggir pantai atau pesisir, dalam proses perjalanan
waktu menjadi kota dagang, pusat
administrasi, pusat kegiatan politik, pusat pendidikan, dan disebut kota budaya. Proses
perkembangan itu amat panjang, sejak lebih dari 400 tahun yang lalu.
Sejak masa itulah Jakarta
menjadi arena pembauran budaya para pendatang dari berbagai kelompok
etnik. Mereka datang dengan berbagai sebab dan kepentingan,
dan tentunya dengan latar belakang budaya masing-masing, sehingga
menjadi suatu kebudayaan baru bagi penghuni Kota Jakarta, dan
pendukung kebudayaan baru itu menyebut dirinya "Orang Betawi."
Anggota suku bangsa atau bangsa asing (dari
luar Jakarta) tadi mulai berdiam di Jakarta pada waktu yang
berbeda-beda. Pendatang paling dahulu adalah orang Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, diikuti oleh anggota-anggota
suku bangsa lainnya. Orang asing yang datang sejak awal adalah orang Portugis,
Cina, Belanda, Arab, India, Inggris, dan Jerman.
Unsur-unsur budaya kelompok etnik atau bangsa itu berasimilasi dan
melahirkan budaya baru yang tampak dalam bahasa, kesenian, kepercayaan,
cara berpakaian, makan, dan lain-lain.
Sejarah Suku Betawi: Sebutan
suku, orang, kaum Betawi, muncul dan mulai populer ketika Mohammad Husni
Tamrin mendirikan perkumpulan "Kaum Betawi" pada
tahun 1918. Meski ketika itu "penduduk asli belum dinamakan
Betawi, tapi Kota Batavia disebut "negeri" Betawi. Sebagai kategori
"suku" dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930. Asal
mula Betawi terdapat berbagai pendapat, yang mengatakan berasal
dari kesalahan penyebutan kata Batavia
menjadi Betawi. Ada
pula cerita lain, yaitu pada waktu tentara Mataram menyerang Kota
Batavia yang diduduki oleh Belanda, tentara Belanda kekurangan
peluru. Belanda tidak kehilangan akal, mereka mengisi
meriam-meriamnya dengan kotoran mereka dan menembakkan meriam-meriam
itu ke arah tentara Mataram sehingga tersebar bau tidak enak, yakni
bau kotoran orang-orang Belanda. Sambil berlarian ten tara
Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya bau tahi!
bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Menurut Bunyamin Ramto, masyarakat Betawi secara
geografis dibagi dua bagian, yaitu Tengah dan Pinggiran. Masyarakat Betawi
Tengah meliputi wilayah yang dahulu menjadi Gemente Batavia
minus Tanjung Priok dan sekitarnya atau meliputi radius kurang lebih
7 km dari Monas, dipengaruhi kuat oleh budaya Melayu dan Agama Islam
seperti terlihat dalam kesenian Samrah, Zapin dan berbagai macam
Rebana. Dari segi bahasa, terdapat banyak perubahan vokal a
dalam suku kata akhir bahasa Indonesia menjadi e, misal guna menjadi
gune.
Masyarakat Betawi Pinggiran, sering disebut
orang sebagai Betawi Ora yang dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bagian utara
dan selatan. Kaum Betawi Ora dalam beberapa desa di sekitar Jakarta berasal
dari orang Jawa yang bercampur dengan suku-suku lain. Sebagian besar
mereka itu petani yang menanam padi, pohon buah dan sayur mayur.
Bagian utara meliputi Jakarta Utara, Barat, Tangerang yang dipengaruhi
kebudayaan Cina, misalnya musik Gambang Kromong, tari Cokek dan
teater Lenong. Bagian Selatan meliputi Jakarta Timur, Selatan, Bogor, dan Bekasi yang
sangat dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Jawa dan Sunda. Sub dialeknya
merubah ucapan kata-kata yang memiliki akhir kata yang berhuruf a
dengan ah, misal gua menjadi guah.
Penduduk Betawi: Komunitas
penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang berbahasa Melayu, dikemudian
hari disebut sebagai orang Betawi. Orang Betawi ini disebut juga sebagai
orang Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara orang-orang
Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang mulai menduduki
kota pelabuhan Batavia sejak awal abad ke-15. Di samping itu,
juga merupakan percampuran darah antara berbagai etnis: budak-budak
Bali, serdadu Belanda dan serdadu Eropa lainnya, pedagang Cina atau
pedagang Arab, serdadu Bugis atau serdadu Ambon, Kapten
Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan orang Mestizo.
Sementara itu mengenai manusia Betawi
purbakala, adalah sebagaimana manusia pulau Jawa purba pada
umumnya, pada zaman perunggu manusia Betawi purba sudah mengenal
bercocok tanam. Mereka hidup berpindah-pindah dan selalu mencari tempat
hunian yang ada sumber airnya serta banyak terdapat pohon
buah-buahan. Mereka pun menamakan tempat tinggalnya sesuai dengan
sifat tanah yang didiaminya, misalnya nama tempat Bojong,
artinya "tanah pojok".
Dalam buku Jaarboek van Batavia
(Vries, 1927) disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri dari
suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari
Nusantara juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka
disebut inlanders, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai
pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, atau opas.
Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya
kecil. Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu
dan sandal, tukang kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan
kue, atau berkeliling kota
dengan "warung dorongnya". Sementara sebutan wong Melayu atau orang Melayu lebih merujuk kepada bahasa
pergaulan (lingua franca)
yang dipergunakan seseorang, di samping nama "Melayu"
sendiri memang sudah menjadi sebutan bagi suku bangsa yang berdiam
di Sumatra Timur, Riau, Jambi dan Kalimantan Barat.
Posisi wanita Betawi di bidang
pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan dalam angkatan kerja relatif
lebih rendah apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di Jakarta dan propinsi lainnya di Indonesia. Keterbatasan
kesempatan wanita Betawi dalam pendidikan disebabkan oleh
kuatnya pandangan hidup tinggi mengingat tugas wanita
hanya mengurus rumah tangga atau ke dapur, disamping
keterbatasan kondisi ekonomi mereka. Situasi ini diperberat
lagi dengan adanya prinsip kawin umur muda masih
dianggap penting, bahkan lebih penting dari pendidikan. Tujuan
Undang-Undang Perkawinan untuk meningkatkan posisi wanita tidak
banyak memberikan hasii. Anak yang dilahirkan di Jakarta, tidak mempunyai hubungan dengan tempat
asal di luar wilayah bahasa Melayu, dan tidak mempunyai
hubungan kekerabatan atau adat
Kebudayaan Betawi: Merupakan
sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar etnis dan
suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa
lainnya. Dari benturan kepentingan yang dilatarbelakangi
oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk pada abad
ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi penduduk Jakarta yang majemuk.
Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini sosoknya mulai jelas pada
abad ke-19. Yang dapat disaksikan, berkenaan dengan budaya Betawi
diantaranya bahasa logat Melayu Betawi, teater (topeng Betawi, wayang
kulit Betawi), musik (gambang kromong, tanjidor, rebana), baju,
upacara perkawinan dan arsitektur perumahan.
Berdasarkan pemakaian logat bahasa, budaya
Betawi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) Betawi Pesisir,
termasuk Betawi Pulo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pinggir; 4)
Betawi Udik, daerah perbatasan dengan wilayah budaya Sunda. Jika
pemetaan budaya disusun berdasarkan intensitas transformasi budaya Barat,
maka terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Betawi Indo; 2) Betawi
Tengah/Kota; 3) Betawi Pesisir, Pinggir, Udik.
Dalam kebudayaan Betawi terlihat
jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya
bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan
masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh
Portugis terasa pula dalam seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan
pakaian hitam. Budaya Portugis ini masuk melalui orang Moor
(dari kata Portugis Mouro, artinya
"muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan
tentunya dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap terutama
dalam bentuk bahasa, makanan dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh
budaya Cina tercermin, misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat
musik, seperti kesenian Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa
antara lain dalam mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga
saat ini, unsur budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.
Kehadiran berbagai anggota suku bangsa
ditandai adanya nama-nama kampung atau tempat di Jakarta yang
menunjukkan asal mereka, misalnya ada Kampung Melayu, Kampung Bali,
Kampung Bugis, Kampung Makasar, Kampung Jawa, Kampung Ambon. Di
antara kelompok-kelompok etnik tersebut di atas, kelompok etnik
Melayu menempati kedudukan yang cukup penting, meskipun jumlah
mereka relatif sedikit dibandingkan oleh orang Bali, Bugis,
Cina dan lain-lain. Pengaruh Melayu menjadi penting karena peranan
bahasanya.
Kebiasaan Hidup Masyarakat Betawi: Gambaran beberapa kebiasaan hidup
berkaitan dengan berkeluarga dan rumah masyarakat Betawi, khususnya
di daerah Jakarta Timur/Tenggara dan lainnya. Khusus menyoroti
berbagai etika yang harus dilaksanakan dalam hubungan antara
pria bujang dengan gadis penghuni rumah. Awalnya laki-laki akan ngglancong
bersama-sama kawannya,
berkunjung ke rumah calon istrinya untuk bercakap-cakap dan
bergurau sampai pagi. Hubungan tersebut tidak dilakukan secara
langsung tetapi melalui jendela bujang atau jendela Cina. Si
laki-laki duduk atau tiduran di peluaran (ruang depan) sedangkan si perempuan ada di
dalam rumah mengintip dari balik jendela bujang. Perempuan juga tidak boleh duduk di trampa
(ambang pintu). Ada kepereayaan "perawan dilamar
urung, laki-laki dipandang orang", yang artinya perempuan
susah ketemu jodoh dan kalau laki-laki bisa disangka berbuat jahat.
Maksudnya, perempuan yang duduk di atas trampa dianggap memamerkan diri dan dipandang
tidak pantas. Sementara apabila laki-laki yang melanggar trampa
dapat dianggap sebagai orang yang
yang bermaksud jahat.
Muncul juga istilah ngebruk,
yaitu apabila laki-laki berani melangkahi trampa rumah
(terutama rumah yang ada anak gadisnya) maka perjaka itu
diharuskan mengawini gadis yang tinggal di rumah tersebut. Karena
kalau tidak dikawinkan akan mendapat nama yang tidak baik
dalam masyarakat. Pengertian ngebruk juga
disebut "nyerah diri", dalam arti si laki-laki datang ke
rumah perempuan yang ingin dinikahinya dengan menyerahkan uang atau pakaian.
Hal ini dilakukan jika belum ada persetujuan terhadap hubungan itu
atau karena kondisi keuangan yang belum memenuhi syarat.
5. SUKU
SUNDA
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 19,91% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Kesenian
Seni tari
Seni tari utama dalam Suku Sunda adalah tari jaipongan, tari merak, dan tari topeng.Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti gendang, gong, saron, kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
Wayang Golek
Tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Cerita wayang yang populer saat ini banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.Seni musik
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :Bubuy Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok
1. Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
2. Angklung
Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal.
Rumah Adat
Rumah tradisional Sunda suhunan Julang Ngapak di Papandak,
Garut
Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian
0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah
tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri
umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti
sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak,
garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog
yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak
tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam
rumah.Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Sistem Kekerabatan
Akad nikah
adat Sunda di depan penghulu dan saksi.
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.
6. SUKU BATAK MANDAILING
1. Sejarah singkat suku batak mandailing
Suku batak mandailing
merupakan nama suku bangsa yang mendiami kabupaten Mandailing Natal,Kabupaten
Padang Lawas,Kabupaten Padang Lawas Utara,dan sebagian Kabupaten Tapanuli
Selatan,Sumatera Utara.
Nama suku mandailing
berasal dari kata Mandailing atau Mandahiling yang diperkirakan berasal dari
kata Mandala dan Holing yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalinga. Kerajaan India
tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka sejak abad ke-12,yang
terbentang dari portibi hingga pidoli. Dalam bahasa Minangkabau,Mandailing
diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud ‘ibu yang hilang’’. Oleh
karenanya ada pula anggapan yang menyatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal
dari kerajaan pagaruyung di Minangkabau.
2. Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing
diatur dalam surat
Tumbaga Holing (Serat Tenbaga Kalinga),yang selalu dibacakan dalam
upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara
Tulak-Tulak,yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera,yang berasal dari
huruf pallawa,bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau,Aksara Rencong
dari Aceh,Aksara Sunda Kuna,dan AksaraNusantara lainnya. Meskipun Suku
Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan
untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun amat sulit
menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya
pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional,ilmu-ilmu
gaib,ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan mimpi.
3. Kekerabatan
Suku
Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan,baik patrilineal maupun
matrilineal. Dalam system patrilineal,orang Mandailing mengenal marga. Di
Mandailing hanya dikenal belasan marga saja,antara lain
lubis,nasution,harahap,pulungan,batubara,parinduri,lintang,hasibuan,rambe,dalimunthe,rangkuti,tanjung,mardia,daulay,matondang,dan
hutasuhut.
MARGA MANDAILING
Perkataan marga di mandailing atau mandahiling bias berarti clanitu
asalnya dari bahasa sanskrit,varga yaitu warga atau warna,ditambah imbuhan ma
atau mar,menjadi mavarga atau marvarga,artinya
berwarga,dan disingkat menjadi marga. Marga itu sendiri bermakna kelompok
atau puak orang yang berasal dari satu keturunan atau satu dusun. Marga
juga bisa berasal dari singkatan’naMA keluaRGA’.
1. Asal usul
Penelitian silsilah marga lubis,yang terbagi menjadi 2,yaitu lubis
singengu(keturunan silangkitang)di kotanopan dan lubis singasoro(keturunan
sibaitang) di pakantan,beserta harahap(keturunan sutan bugis)
danhutasuhut(keturunan sutan borayun) di angkola,merupakan keturunan Namora
pande bosi. Marga itu mulai tinggal di mandailing julu dan mandailing
jae(angkola) pada kurunabad ke-16,keturunan raden patah gelar angin bugis dari
majapahit.
Sementara marga nasutionsibaroar yang
berada di mandailing godang merupakan keturunan si baroar gelar sutan(sultan)
di aru,dan marga-marga nasution lainnya antara laing nasution panyabungan,tambangan,borotan,lantat,jior,tonga,dolok,maga,pidoli,dan
lain-lain berdasarkan nama dusun masing-masing.
Umumnya marga-marga di mandailing
kisah asal usulnya tidak menunjukan berasal dari toba,seperti opini yang
ditebarkan. Antara lain batubara,daulae,dan matondang yang berasal dari satu
nenek moyang. Tokoh nenek moyang ketiga marga tersebut menurut kisahnya dua
orang bersaudara,yakni parmato sopiak dan datu bitcu rayo. Sekitar tahun 1560
M,keduanya bersama rombongan berangkat dari batubara,tanjung balaimenuju
kawasan barumun. Di tempat itu,mereka mendirikan kampong bernama binabo,dan
disitulah parmato sopiak meninggal dunia. Kemudian hari,dua putra parmato
sopiak yang bernama si lae dan si tondang
bersama pengikut mereka pindah ke mandailing godang,dan mendirikan
kampung bernama pintu padang,
Disitulah keturunan mereka berkembang dan bermarga daulae dan matondang. Datu
bitcu rayo kemudian berpindah,dan mendirikan kampong pagaran tonga, Di tempat itu keturunannya
berkembang menjadi marga batubara.
Orang-orang mandailing bermarga
rangkuti dan pecahannyamarga parinduri,juga tidak mendukung pendapat,yang
menyatakan mereka berasal dari toba,tidak Marmora(punya hubungan kerabat
mertua) dan tidak maranak boru(punya hubungan kerabat bermenantu) ke tanah
batak. Sebab menurut penuturan yang dihimpundari orang-orang tua di mandailing
dan disesuaikan pula dengan tarombomarga rangkuti,bahwaompu parsadaan
rangkuti(nenek moyang orang-orang bermarga rangkuti) di runding,bernama
mangaraja sutan pane,yang pada kira-kira abad keXI datang dari ulu panai
membuka huta rundingdan mendirikan kerajaan disana. Kerajaan tersebut
berhadapan dengan harajoan(kerajaan) pulungan di hutabargot di kaki tor(gunung)
dolok sigantang di seberang sungai batang gadis kira-kira 16 km dari
panyabungan. Versi lain pula mengatakan bahwa nenek moyang orang mandailing
bermarga rangkuti pada mulanya datang dari aceh selatan. Dari sana mereka kemudian turun ke mandailing
godang dan mendirikan perkampungan mereka yang dinamakan runding. Versi
lainnnya,rangkuti merupakan keturunan dari ra kuti,yang lari ke mandailing pada
masa lampau,yaitu masa kesultanan aru.
2. Marga-Marga Mandailing
Etnis mandailing hanya mengenal
sekitar belasan marga,antara lain lubis,nasution,pulungan,batubara,parinduri,lintang,harahap,hasibuan(nasibuan)
,rambe,dalimunthe,rangkuti(ra kuti) ,tanjung,mardia,daulay,matondang,hutasuhut.
Menurut abdoellah lubis,marga-marga di
mandailing julu dan pakantan adalah seperti berikut: lubis(yang terbagi kepada
lubis huta nopan dan lubis
singasoro),nasution,parinduri,batubara,matondang,daulay,nai
monte,hasibuan,pulungan.Marga-marga di mandailing godang adalah nasutionyang
terbagi kepada nasution
panyabungan,tambangan,borotan,lantat,jior,tonga,dolok,maga,pidoli,dan
lain-lain. Lubis,hasibuan,harahap,batubara,matondang(keturunan hasibuan)
,rangkuti,mardia,parinduri,batu na bolon,pulungan,rambe,mengintir,nai
monte,panggabean,tangga ambeng dan margara.(rangkuti,mardia dan parinduri
asalnya satu marga).
Menurut basyral hamidy harahap dan hotman
m. siahaan,di angkola dan sipirok terdapat marga-marga
pulungan,baumi,harahap,siregar,dalimunthe dan daulay. Di padang lawas,terdapat marga-marga
harahap,siregar,hasibuan,daulay,dalimunte,pulungan,nasution dan lubis.
Menurut basyral hamidy harahap dalam
buku berjudul horja,marga-marga
di mandailing
babiat,dabuar,baumi,dalimunte,dasopang,daulae,dongoran,harahap,hasibuan,hutasuhut,lubis,
,parinduri,pasaribu,payung,pohan,pulungan,rambe,rangkuti,ritonga,sagala,simbolon,siregar,pane,
nasution,tanjung.
DALIHAN NA TOLU
Dalihan na
tolu adalah fondasi budaya angkola-sipirok,padang-lawas dan mandailing,yang
saat ini memerlukan pelestariannya sebelum terlambat walaupun gejala kepunaha
sudah dapat dibaca sekarang ini. Pada dalihan na tolu terdapat 3 unsur,yaitu:
1.
Kahanggi
adalah kelompok yang mengayomi.
2.
Anak boru adalah kelompok yang melaksanakan
tugas.
3.
Mora
adalah kelompok yang dalam posisi penasehat.
Pada dalihan na tolu
terdapat 109 nilai,yang diperas menjadi 9 nilai budaya utama,yaitu:
1.
Kekerabatan,mencakup hubungan
primordial,suku,kasih sayang atas dasar hubungan darah dan perkawinan.
2.
Religi mencakup kehidupan
beragama.
3.
Hagabeon mencakup banyak
anak-cucu serta panjang umur.
4.
Hasangapon,kemuliaan,kewibawaan,kharisma.
5.
Hamaraon mencakup kekayaan
yang banyak tapi halal.
6.
Hamajuon mencakup kemajuan
dalam menuntut ilmu pengetahuan.
7.
Hukum mencakup “ptik dan
uhum’’ dalam rangka menegakkan kebenaran.
8.
Pengayoman,nilainya lebih kecil dari 7 unsur
lainnya,karena orang angkola-mandailing biasanya mandiri.
9.
Konflik mencakup terjadi
pertarungan kekuatan tentang masalah tanah dan warisan.
7. Suku Minangkabau
Adap istiadatBahasa Memakai Bahasa Minang kabau,Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.
RUMAH ADAT SUKU MINANG KABAU
SOSIAL
BUDAYA
Nama Minangkabau mencerminkan kecerdasan yang tinggi dan panjang akal. Secara harafiah, nama Minangkabau berarti "menang kerbau." Menurut dongeng, kata Minangkabau berasal dari kemenangan orang Minangkabau - di bawah pimpinan Datuk Parpatih Nan Sebatang dan Datuk Katumanggungan dalam adu kerbau dengan orang-orang kerajaan Majapahit. Konon, anak kerbau orang Minangkabau berhasil membunuh kerbau besar Majapahit karena pada moncongnya diikatkan sebuah taji (minang) yang tajam. Kini, kerbau merupakan figur yang sangat kuat melekat pada mitos, budaya dan arsitektur suku Minang (atap rumah tradisional Minang bergonjong seperti tanduk kerbau).
Suku ini terkenal di seluruh Indonesia dengan kesuksesan mereka dalam bisnis, makanan yang pedas dan kebanggaan mereka akan adat istiadat. Dalam kebudayaan suku Minangkabau, harta kekayaan dan nama keluarga diwariskan kepada kaum wanita (matrilineal). Tanggung jawab dalam rumah tangga istri lebih banyak di tangan ninik mamak (saudara laki-laki ibu). Ia wajib mengurusi kemenakannya dan mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan segala harta pusaka dan warisan. Hal yang sama juga menjadi peranan seorang suami di dalam keluarganya sendiri, yaitu mengawasi saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya. Namun pada masa sekarang, peranan ninik mamak semakin kecil karena ia lebih cenderung untuk mengurusi istri dan anak-anaknya sendiri dan seorang suami pun lebih banyak berperan dalam rumah tangganya. Perubahan ini terutama terlihat pada keluarga Minangkabau di perantauan.
AGAMA/KEPERCAYAAN
Suku Minangkabau merupakan kaum muslim yang taat menjalankan ke 5 rukun Islam di Indonesia. Ada satu pepatah Minangkabau yang berkata "Menjadi orang Minangkabau adalah menjadi Islam." Mereka yang beralih ke agama lain akan diusir dan kehilangan mata pencaharian.
KEBUTUHAN
Di bidang pendidikan maupun pekerjaan, suku ini relatif lebih maju daripada propinsi lain di luar Pulau Jawa. Namun demikian mereka masih membutuhkan peningkatan di bidang pendidikan maupun di bidang industri, khususnya kerajinan rakyat yaitu jahit, sulam dan anyam-anyaman. Di samping itu Kepulauan Mentawai, Danau Maninjau, Danau Singkarak dan Bukittinggi merupakan daerah pariwisata yang masih dapat dikembangkan dan mempunyai potensi untuk pengembangan tenaga pembangkit listrik.
Nama Minangkabau mencerminkan kecerdasan yang tinggi dan panjang akal. Secara harafiah, nama Minangkabau berarti "menang kerbau." Menurut dongeng, kata Minangkabau berasal dari kemenangan orang Minangkabau - di bawah pimpinan Datuk Parpatih Nan Sebatang dan Datuk Katumanggungan dalam adu kerbau dengan orang-orang kerajaan Majapahit. Konon, anak kerbau orang Minangkabau berhasil membunuh kerbau besar Majapahit karena pada moncongnya diikatkan sebuah taji (minang) yang tajam. Kini, kerbau merupakan figur yang sangat kuat melekat pada mitos, budaya dan arsitektur suku Minang (atap rumah tradisional Minang bergonjong seperti tanduk kerbau).
Suku ini terkenal di seluruh Indonesia dengan kesuksesan mereka dalam bisnis, makanan yang pedas dan kebanggaan mereka akan adat istiadat. Dalam kebudayaan suku Minangkabau, harta kekayaan dan nama keluarga diwariskan kepada kaum wanita (matrilineal). Tanggung jawab dalam rumah tangga istri lebih banyak di tangan ninik mamak (saudara laki-laki ibu). Ia wajib mengurusi kemenakannya dan mengawasi segala sesuatu yang berhubungan dengan segala harta pusaka dan warisan. Hal yang sama juga menjadi peranan seorang suami di dalam keluarganya sendiri, yaitu mengawasi saudara perempuan dan kemenakan-kemenakannya. Namun pada masa sekarang, peranan ninik mamak semakin kecil karena ia lebih cenderung untuk mengurusi istri dan anak-anaknya sendiri dan seorang suami pun lebih banyak berperan dalam rumah tangganya. Perubahan ini terutama terlihat pada keluarga Minangkabau di perantauan.
AGAMA/KEPERCAYAAN
Suku Minangkabau merupakan kaum muslim yang taat menjalankan ke 5 rukun Islam di Indonesia. Ada satu pepatah Minangkabau yang berkata "Menjadi orang Minangkabau adalah menjadi Islam." Mereka yang beralih ke agama lain akan diusir dan kehilangan mata pencaharian.
KEBUTUHAN
Di bidang pendidikan maupun pekerjaan, suku ini relatif lebih maju daripada propinsi lain di luar Pulau Jawa. Namun demikian mereka masih membutuhkan peningkatan di bidang pendidikan maupun di bidang industri, khususnya kerajinan rakyat yaitu jahit, sulam dan anyam-anyaman. Di samping itu Kepulauan Mentawai, Danau Maninjau, Danau Singkarak dan Bukittinggi merupakan daerah pariwisata yang masih dapat dikembangkan dan mempunyai potensi untuk pengembangan tenaga pembangkit listrik.
8. SUKU DI JAWA
Budaya dan adat istiadat di jawa timur
Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup populer di kawasan ini.Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.
Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.
Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.
Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih. Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim donga pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
pakaian adat jawa timur
pakaian adat jawa timur ini disebut mantenan. pakaian ini sering digunakan saat perkawinan d masyarakat magetan jawa timur
upacara adat magetan
Upacara Labuh sesaji salah satu acara tahunan yang diselenggarakan di Telaga Sarangan. Diadakan pada bulan ruwah, hari Jum'at Pon merupakan acara Bersih Desa dengan ditandai labuh "Sesaji" ke Telaga Sarangan. Tujuannya merupakan ucapan terima kasih dari masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hadiah dari Tuhan yang berupa Telaga Sarangan, sehingga mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat Magetan khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Upacara Adat Tradisional Jawa Barat
Adat
istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat Sunda masih dilestarikan
dan menjadi pedoman bagi kehidupan soisal masyrakatnya. Dalam adat istiadat
Sunda, berbagai macam upacara adat yang bersifat ritual dan spiritual dan mencakup
di dalam setiap bidang kehidupan sosial baik daur hidup manusia, pertanian,
sunatan, perkawinan dan lain sebagainya. Tujuan dari semua itu adalah sebagai
ungkapan syukur dan permohonan kepada Tuhan atas keselamatan dan
kesejahteraan.
|
Upacara Adat Seren Taun
Upacara
Seren Taun adalah upacara adat khas tradisional Jawa Barat dimana upacara adat
ini intinya adalah mengangkut padi (ngangkut pare) dari sawah ke leuit (lumbung
padi) dengan menggunakan pikulan khusus yang disebut rengkong dengan diiringi
tabuhan musik tradisional. Selanjutnya diadakan riungan (pertemuan) antara
sesepuh adat/pemuka masyarakat dengan para pejabat pemerintah setempat.
Upacara
Seren Taun membawa hasil tani sebagai permohonan syukur kepada Tuhan
Kehadiran
pejabat setempat adalah untuk menyampaikan berita gembira mengenai keberhasilan
panen (hasil tani) dan kesejahteraan masyarakat yang dicapai dalam kurun waktu
yang telah dilalui. Salah satu ciri khas di dalam upacara ini adalah dengan
prosesi seba atau
dapat diartikan semacam menyampaikan segala hasil tani yang telah dicapai untuk
dapat dinikmati oleh pejabat-pejabat setempat yang diundang untuk menghadiri
acara tersebut.
Salah
satu tujuan upacara adat ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
atas keberhasilan dan perlindungan selama masa tani serta sebagai sebuah
permohonan agar di masa kedepan na dapat emmperoleh hasil tani yang lebih baik
lagi. Upacara Sereh Taun
ini dapat kita jumpai di Kasepuhan Sirnarasa Cisolok, Sukabumi Selatan;
Cigugur-Kuningan.
Upacara Adat Pesta Laut
Upacara
Adat Pesta Laut ini biasanya diselenggarakan di daerah Jawa Barat seperti
Pelabuhan Ratu (Sukabumi) dan Pangandaran (Ciamis). Upacara ini dimaksudkan
sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala hasil laut yang
diperoleh oleh para nelayan, juga di tujukan sebagai permohonan keselamatan
agar para nelayan selalu diberi keselamatan dan hasil laut yang melimpah.
Di
dalam upacara tersebut perahu-perahu nelayan dihiasi berbagai ornamen
berwarna-warni yang dinaiki oleh para nelayan dan diberi sesajen di atasnya.
Yang unik di dalam acara ini adalah para nelayan menghadiahkan kepala kerbau
yang sudah dibungkus kain putih kepada penguasa laut sebagai penolak bala.
Pesta Laut ini diadakan setahun sekali dan menjadi salah satu daya tarik
pariwisata bagi masyarakat.
9. SUKU SAKAI
SEJARAH SUKU SAKAI
Pada
zaman pluvial di daerah trovis yang di sejajarkan oleh para ahli dengan jaman
glacial di eropa dan amerika, nusantara(Indonesia)
ini belumlah merupakan pulau-pulau, tetapi masih bersatu dengan daratan asia. Masuk pada gelombang pertama : adalah
suku Wedoide yg mempunyai ciri khas, yang oleh para ahli di akui sebagai suk u
bangsa pertama yang menghuni nusantara ini. mereka adalah pengembara (nomaden)
karena kehidupanya tergantung semata-mata kepada alam, dengan demikian mereka
disebut suku bangsa yang hidup dengan food Gathering. Yakni segala kebutuhan
primair (makan) tergantung pada apa saja yang disediakan alam. Sisa-sisa suku
ini di daerah Riau di tandai dengan adanya Suku SAKAI,Kubu dan Suku orang
hutan. Suku-suku ini oleh para ahli di sejajarkan dengan suku senoi di malysia,
suku tokea, dan toa di sulauwesi, yang di perkirakan sebagai sisas-sisa suku
bangsa WEDDOIDE itu
Asal kata
sakai
Siapa yang tidak kenal sakai, sakai
sebenarnya adalah orang Pebatin. Nama sakai ini
sejak jaman belanda belum pernah di dengar oleh orang pebatin, nama tersebut
baru di kenal saat jepang masuk (menjajah) ke Indonesia dan Riau khususnya. Sikap
orang jepang itu betul-betul tidak manusiawi khususnya pada orang sakai. Melihat perlakuan dari
orang jepang yang tidak manusia itu, orang sakai (Pebatin) tidak menerima, dan kita
inggin diperlakukan demikian. Kami tak mau dijajah. Lebih baik kami melawan
yang pada akhirnya bentrokan fisik antara orang jepang dengan orang-orang sakai tidak bias di
hindarkan lagi.
Dulu, ada orang sakai yg melawan belanda namanya Komin. Dia,
boleh dikatan orang yang memiliki kekuatan lain, bila di bandingkan dengan
manusia biasa. Bila di tembak, peluru tak akan menembus kulitnya, apa lagi
mematikannya. Dalam arti kata si komin tersebut orang kebal.
Pada akhirnya nama sakai ini menjadi momok
yang menakutkan bagi orang jepang dan masyarakat lainya. Oleh karena itu, jika
orang melayu sakit kepada kawan maupun orang lain. Mereka akan mengatakan atau
memberitahukan kepada orang jepang “itu orang sakai Tuan” Maka, orang jepang tanpa Ba-bi-bu
(bahasa jepang) artinya basa-basi langsung membunuhnya.
Suku sakai
merupakan suku
terasing yang mendiami propinsii Riau. Dari tempattinggal, masyarakat Sakai
dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakaidalam merupakan warga sakai yang masih
hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap
ikan dan mengambil hasil hutan.Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman
puak melayu dan suku lainnya.Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan
upacara yang berkaitandengan daur hidup (Life
cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turuntemurun yang
masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai.
Adapun upacara tersebutantara lain:
1.Upacara kematian
2.Upacara kelahiran
3.Upacara pernikahan
4.Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang
berkaitan dengan lingkungan hidup (ife
cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
1.Upacara menanam padi
2.Upacara menyiang
3.Upacara sorang sirih
4.Upacara tolak bala.
Dewasa ini masyarakat sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudahmemeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampaiPerguruan Tinggi. Masyarakat suku sakai
tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapisudah ada yang bekerja sebagai guru,
pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan.Walaupun sudah mengalami perubahan
dalam masyarakat sakai
tetapi masih berkaitandengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan
upacara tersebut akan mendapatkan musiahmenurut kepercayaan mereka yaitu akan
diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu
10. SUKU DAYAK
Suku Dayak adalah
suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok
yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri
sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.
Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih
diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh
Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak
kenal menyerah atau pantang mundur.
ASAL MULA
Pada tahun
(1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia
mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan
yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah
orang-orang Melayu dari Sumatra dan
Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan
orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang
waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir
dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.
Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan
perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah
membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin
Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar,
sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat
pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang
Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku
Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi
menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak
yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di
Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari,
Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak
masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan
dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal
adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot
Danum)
Tidak hanya dari
nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan
pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji
disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi
adalah Banjarmasin.
Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin
(dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa
Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki
pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama
dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan
orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku
Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa
Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad
XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk
Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407,
setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada
tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei)
yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir,
mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada
beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan
dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang
masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan
budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia,
karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
- Upacara Tiwah
Upacara Tiwah
merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk
pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat.
Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk
mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi
Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang
yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak
sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai
akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
- Dunia Supranatural
Dunia Supranatural
bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan
Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia (
kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta
damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan
supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang.
Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
- Mangkok merah.
Mangkok merah
merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak
merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak
sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok
merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari
penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu.
Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang
luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal
dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak
sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat
untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat
itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa
sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang
sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan
di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu,
maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang
tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat
dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain
dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga
perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang
melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning),
bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang
mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon
sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang
persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus
dengan kain merah.
Menurut cerita
turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu.
Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak
pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar
etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan
Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke
mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang
tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari
langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya
suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari
emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
SENI TARI
DAYAK
1. Tari GantarTarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
4. Tari Kancet Lasan
5.Tari Leleng
6. Tari Hudoq
7. Tari Hudoq Kita’
8. Tari Serumpai
9. Tari Belian Bawo
10. Tari Kuyang
11. Tari Pecuk Kina
12. Tari Datun
Senjata Sukubangsa Dayak
- Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
- Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
- Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
- Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
- Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar