Jumat, 13 Mei 2016

CERITA RAKYAT RIAU : PUTRI KACA MAYA





PUTRI KACA MAYANG

Pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak, berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Gasib. Di kerajaan ini, seluruh penduduk hidup damai dan sejahtera karena Kerajaan Gasib dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana, didampingi seorang ratu yang sangat anggun dan cerdas, juga dibantu seorang panglima yang gagah berani, Panglima Gimpam namanya. Kerajaan Gasib juga memiliki seorang putri bernama Puteri Kaca Mayang, yang kecantikan dan keluhuran budinya terkenal hingga seluruh penjuru negeri, bahkan ke negara-negara tetangga. Banyak raja dari negeri tetangga yang ingin meminang Puteri Kaca Mayang, namun tak satu pun yang diterimanya karena ia belum ingin menikah dan masih ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada suatu hari, Puteri Kaca Mayang dan kedua orangtuanya sedang berbincang-bincang di istana kerajaan.
“Wahai, anakku. Tidakkah engkau ingin menerima salah satu pinangan dari raja-raja negeri tetangga tersebut?” tanya Raja Gasib. “Benar, anakku. Ku rasa, sekarang adalah waktu yang tepat bagimu untuk mulai membina rumah tangga. Aku tak sabar ingin segera menimang cucu dari putri semata wayangku,” timpal sang Ratu.
“Ibu, Ayah, maafkan jika Ananda lancang. Namun hati Ananda masih menyimpan harapan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi, bukan untuk menikah terlebih dahulu, Ananda ingin membuat kerajaan kita maju,” jelas Puteri Kaca Mayang. “Baiklah, Ananda. Jika memang itu keputusanmu, Ibu dan Ayah akan mendukung dengan sepenuh hati,” ujar sang Raja memaklumi.


Sementara itu, di Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Raja Aceh yang dikenal angkuh dan pemarah, sedang terjadi cekcok karena kedua istrinya terus berebut mencuri perhatiannya
“Kakanda, seminggu yang lalu saat aku melancong ke Batavia, aku melihat sebuah toko yang menawarkan berlian dengan harga murah, kira-kira hanya setara dengan 200 keping emas. Bolehkah aku membelinya sebagai tambahan perhiasanku?” pinta sang istri tua dengan nada mendayu-dayu.
“Kakanda, sepertinya aku membutuhkan sebuah kereta kencana baru untukku pribadi, bukannya berbagi dengan si nenek tua itu!” ujar sang istri muda sambil melirik sinis ke istri tua.
“Apa?! Nenek tua?! Seenaknya kau mengatai aku seperti itu!” bentak istri tua seraya menjambak kerudung istri muda.
Istri muda pun tak tinggal diam. Ia pun balas menjambak kerudung istri tua.

“Hentikan! Kepalaku sudah cukup pusing untuk mengatasi semua masalah di negeri ini, janganlah kalian berdua menambah sakit kepalaku! Sekali lagi aku melihat kalian bertengkar, aku tak segan mengusir kalian berdua dari istana ini!” ujar sang Raja dengan penuh amarah.
“Mm..maafkan kami, Kakanda,” ujar istri tua dan istri muda bersamaan dengan rasa takut. Keduanya segera berjabat tangan. “Panglima! Panglima!” Raja Aceh berteriak memanggil panglima kerajaan.
Kedua panglima tersebut segera berlari menghampiri Rajanya.

“Ampun, Baginda. Apa gerangan Baginda memanggil kami?” tanya panglima pertama.
“Aku menginginkan Puteri Kaca Mayang dari Kerajaan Gasib untuk menjadi istriku yang ketiga. Tolong sampaikan pinanganku ke Kerajaan Gasib,” ujar sang Raja.
“Apakah Baginda yakin dengan keputusan tersebut?” tanya panglima kedua ragu-ragu.
“Ya, Panglima. Aku sangat yakin dengan keputusanku. Pergilah kalian ke Kerajaan Gasib sekarang juga!” perintah Raja Aceh. “Baik, Baginda. Kami akan ke sana sekarang juga,” jawab kedua panglima seraya mengangguk.
Tak lama kemudian, kedua panglima Aceh tiba di Kerajaan Gasib. Mereka melihat Ratu Gasib dari kejauhan dan seraya menghampiri sang Ratu.

“Baginda,” kedua panglima menyapa sang Ratu.
“Siapa kalian? Apa gerangan kalian datang ke mari?” tanya sang Ratu terkejut setelah ia membalikkan badannya ke arah kedua panglima. Nampaknya, sedari tadi ia tidak mengetahui akan kedatangan panglima tersebut.
“Ampun, Baginda. Kami panglima dari Kerajaan Aceh. Kami berdua datang ke mari diutus oleh Raja Aceh. Kami ingin bertemu Baginda Raja Gasib,” jawab panglima pertama.
“Mengapa ia mengutus kalian ke mari?” tanya Ratu Gasib bingung.
“Raja kami ingin meminang putri Baginda, Puteri Kaca Mayang,” jawab panglima kedua.

“Benar, Baginda,” panglima pertama mengiyakan.
“Maaf, Panglima. Kami belum bisa menerima pinangan dari raja kalian. Putriku belum siap untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf dari kami kepada raja kalian,” jelas sang Ratu sambil menghela napas.
“Baiklah, Baginda. Kami akan kembali ke Aceh untuk menyampaikan jawaban Baginda,” ujar panglima kedua.
Kedua panglima Aceh kembali ke kerajaan mereka dengan perasaan kecewa. Mereka takut Raja Aceh murka karena pinangannya ditolak. Sesampainya di kerajaan, mereka segera menemui raja mereka untuk menyampaikan kabar tersebut.

“Selamat datang, Panglimaku. Bagaimana kabar pinanganku?” tanya Raja tak sabar.
“Mm-mo.. mohon maaf, Baginda. Pihak Kerajaan Gasib menolak pinangan Baginda,” jawab panglima kedua dengan wajah ketakutan.
“Apa?!” Raja berteriak dengan sangat emosi. Teriakan sang Raja ternyata terdengar oleh kedua istrinya. Mereka segera berlari mendekati suaminya yang tampak sangat murka itu.

“Aaa…da apa, Kakanda? Apa sebab dikau murka?” tanya istri tua keheranan.
“Ya, Kakanda. Apakah nenek tua ini memancing emosimu lagi?” tanya istri muda sambil melirik istri tua.
“Apa katamu?! Dasar perempuan tak tahu diri!” istri tua marah dan mendorong istri muda. Keduanya pun bertengkar dan Raja Aceh segera memerintahkan kedua panglimanya untuk memisahkan istri-istrinya. Setelah itu, ia kembali berbicara dengan kedua panglimanya.
“Tidak mungkin Raja Gasib menolak pinanganku!” ucap Raja Aceh sambil berpikir.
“Nnn…namun begitulah kenyatannya, Baginda,” jawab panglima pertama terbata-bata.
“Kurang ajar kau, Gasib! Aku tak akan tinggal diam, akan ku balas perbuatanmu!” tegas Raja Aceh murka dan penuh dendam.


Karena telah mengenal sifat pendendam Raja Aceh, maka Raja Gasib segera menyiapkan pasukan perang untuk menghadapi serangan Kerajaan Aceh. Ia pun memanggil panglima setianya untuk menghadap.
“Panglima Gimpam, ke marilah!” panggil sang Raja.
“Baik, Baginda. Apa gerangan baginda memanggil hamba?” tanya panglima.
“Aku ingin kau menyiapkan pasukan perang kerajaan kita,” jawab Raja Gasib.
“Baiklah, Baginda. Namun, jika boleh hamba tahu, mengapa Baginda menyuruh hamba menyiapkan pasukan perang?” tanya panglima ingin tahu.

“Aku takut jika sewaktu-waktu Raja Aceh menyerang kerajaan kita, karena aku menolak pinangannya terhadap putriku. Kini, kau ku perintahkan untuk memimpin pasukan di Kuala Gasib,” jelas sang Raja.
“Baiklah, Baginda. Hamba akan segera melaksanakan perintah Baginda,” ujar panglima menuruti titah rajanya.
Ternyata, yang dikhawatirkan oleh Raja Gasib menjadi kenyataan. Tak lama setelah itu, Raja Aceh beserta pasukannya telah mengetahui persiapan Kerajaan Gasib dan mereka telah mengetahui bahwa Kuala Gasib, yang merupakan jalur utama menuju negeri itu dipimpin oleh Panglima Gimpam yang gagah berani.

“Hahaha. Ternyata Kerajaan Gasib telah menyiapkan pasukannya untuk melawan kita! Tak akan ku biarkan mereka menang!” ujar Raja Aceh.
“Maaf, Baginda. Ternyata, Kuala Gasib telah dijaga oleh Panglima Gimpam,” ucap panglima pertama.
“Apa?! Jadi, lewat jalan mana kita bisa menuju ke kerajaan Gasib?” tanya sang Raja Aceh.
“Lebih baik kita bertanya pada penduduk kerajaan Gasib, Baginda,” panglima kedua mengusulkan.

“Ya, Panglima. Kau benar. Ayo, kita segera menyiapkan pasukan dan langsung pergi ke Kerajaan Gasib!” ajak sang Raja. Raja Aceh dan pasukannya pergi ke Kerajaan Gasib. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan salah satu penduduk Kerajaan Gasib.
“Sepertinya, itu penduduk Kerajaan Gasib, Baginda,” kata panglima kedua sambil menunjuk ke arah penduduk tersebut.
“Ya, benar. Mari kita segera ke sana!” perintah sang Raja.
“Hai, anak muda. Apakah benar kau penduduk negeri Gasib?” tanya sang Raja kepada pemuda itu.

“Bb..enar, Tuan. Siapakah gerangan tuan-tuan ini? Dan hendak ke mana?” tanya pemuda itu terbata-bata.
“Kami dari Kerajaan Aceh hendak menuju ke negeri kalian. Tolong tunjukkan kami jalan darat menuju Kerajaan Gasib!” kata panglima kedua.
“Hamba ttt….ttiddak ttahuu, Tu…tuan,” jawab si pemuda ketakutan dan tergagap-gagap seraya berbohong.
“Benarkah itu? Bagaimana dengan ini?” ujar sang Raja sambil mengibaskan segepok uang di hadapan pemuda itu.

“Bbb…baiklah, Tuan. Ke arah sana.” ujarnya seraya menunjukkan arah jalan kepada rombongan kerajaan Aceh. Akhirnya, Raja Aceh beserta pasukannya sampai di Kerajaan Gasib tanpa melewati penjagaan Panglima Gimpam. Ia langsung menghancurkan seisi negeri tersebut.
“Hahahaha. Akhirnya kita sampai di sini tanpa melewati penjagaan Panglima Gimpam. Hahaha. Semua pasukanku, ayo serang!” perintah sang Raja. Penduduk Gasib yang melihat Pasukan Aceh menghancurkan negerinya segera melapor kepada Raja Gasib.

“Baginda, pasukan Kerajaan Aceh telah memporak-porandakan negeri kita dan kini mereka menyerang halaman istana,” ujar penduduk ketakutan.
“Benarkah itu?” tanya Raja Gasib.
Di samping itu, Puteri Kaca Mayang disekap dan Ratu Gasib dibunuh oleh panglima Aceh.
“Ayah, tolong aku..” jerit sang Putri.
“Diam, kau!” bentak panglima pertama.

“Putriku.. Aaargh!” teriak sang Ratu kesakitan. Panglima kedua telah menancapkan sebilah pisau di tubuh Ratu Gasib. Ia pun tak dapat tertolong. Tubuhnya terjatuh ke tanah kerana kehilangan banyak darah. Kedua penglima Aceh segera melarikan diri. Melihat hal itu, Raja Gasib segera menghampiri mayat istrinya seraya memeluknya.
“Putriku.. Istriku..” jerit sang Raja histeris. Panglima Gimpam datang dari Kuala Gasib dan terkejut melihat seisi istana porak-poranda dan melihat Ratu Gasib yang bersimbah darah.

“Hah! Apa-apaan ini? Mengapa kerajaan bisa jadi porak-poranda?! Mengapa Ratu Gasib meninggal dunia?!” tanyanya terkejut. “Ini akibat pasukan kerajaan Aceh, wahai, Panglima. Mereka menculik Puteri Kaca Mayang dan membunuh Baginda Ratu,” ujar salah satu penduduk.
“Apa?! Kurang ajar sekali Raja Aceh itu, akan ku balas kekalahan ini! Aku harus bisa membawa Puteri Kaca Mayang kembali ke sini!” ucapnya marah.
“Benar, Panglima. Sebaiknya panglima secepatnya menuju ke sana agar kondisinya tidak semakin parah!” pinta salah seorang penduduk itu.
“Baiklah, aku akan segera ke sana. Tolong jaga kerajaan ini selama aku pergi!” pesan Panglima Gimpam.

Saat tiba di gerbang Kerajaan Aceh, Panglima Gimpam disambut oleh kedua Panglima Aceh. Mereka menghadang Panglima Gimpam dan menantang Panglima Gimpam berkelahi. Jika Panglima Gimpam menang, maka ia boleh menjemput Puteri Kaca Mayang. Namun jika ia kalah, maka ia harus kembali ke Kerajaan Gasib dengan tangan kosong dan Puteri Kaca Mayang harus tinggal di Kerajaan Aceh untuk selamanya.
“Akhirnya, sampai juga aku di sini,” Panglima Gimpam bergumam.
“Hahaha, ternyata kau telah sampai, Gimpam,” ujar panglima kedua yang tiba-tiba muncul dari belakang Panglima Gimpam. “Ya, aku ke sini untuk membalaskan dendamku atas meninggalnya Yang Mulia Ratu Gasib. Aku ingin membawa pulang Puteri Kaca Mayang kembali ke kerajaan Gasib!” ucap Panglima Gimpam.

“Hahaha, baiklah. Kau bisa membawa pulang Puteri Kaca Mayang, asalkan kau berani bertarung dengan kami berdua. Taruhannya Puteri Kaca Mayang. Jjika kau menang kau bisa membawanya kembali, namun jika kau kalah, ia harus tinggal di sini selamanya!” jelas panglima pertama.
“Benar, tapi aku yakin kau takkan menang. Hahaha..” ujar panglima mengiyakan sambil meremehkan Panglima Gimpam.
“Baiklah, aku sanggupi tantangan kalian. Apa pun akan ku lakukan demi Puteri Kaca Mayang,” balas Panglima Gimpam menerima tantangan dari kedua Panglima Aceh.

Panglima Gimpam dan kedua Panglima Aceh pun berkelahi. Kedua Panglima Aceh mengalami kekalahan. Mereka tidak sanggup melawan Panglima Gimpam. Panglima pertama lari terbirit-birit bersembunyi. Sementara itu, panglima kedua tak dapat tertolong nyawanya. Ia pun meninggal dunia.
“Bagaimana? Sudah jelas bukan, siapa yang memenangkan pertarungan ini?” tanya Panglima Gimpam.
“Hm… ku akui kesaktianmu, Gimpam. Panglima, bawa Puteri Kaca Mayang ke mari!” perintah Raja Aceh. Mendengar perintah dari rajanya, panglima pertama segera membawa Puteri Kaca Mayang ke hadapan sang Raja.

“Panglima, apakah kau datang untuk menjemputku?” tanya Puteri Kaca Mayang.
“Ya, Puteri. Aku datang untuk menjemputmu,” jawab Panglima Gimpam seraya berlutut memberi hormat.
“Hahaha, kembalilah kalian ke Kerajaan Gasib! Aku terpaksa merelakan kau, Puteri Kaca Mayang. Jika sewaktu-waktu kau berubah pikiran, kembalilah ke mari! Hahaha..” ujar Raja Aceh sambil tertawa licik.

“Tidak akan! Aku tidak akan membiarkan Puteri Kaca Mayang kembali ke sini! Puteri, ayo kita pulang!” ajak Panglima Gimpam. Puteri Kaca Mayang dan Panglima Gimpam segera meninggalkan Kerajaan Aceh. Di tengah perjalanan, ternyata penyakit Puteri Kaca Mayang kambuh. Napasnya terasa sangat sesak. Saat itu juga, angin sedang bertiup dengan kencangnya. Puteri Kaca Mayang pun meminta Panglima Gimpam untuk beristirahat sejenak.
“Panglima, a…ngin… i..ini sa..ngat ken-cang. Aku ttak bbissa ber..napas lagi.. bbb-isaa.. kkah.. kita.. bber-hen..ti sse-jjenak?” pinta sang Puteri.
“Bb..baiklah, Puteri. Kita istirahat sebentar,” jawab Panglima Gimpam cemas.
“Te-tee..ri..ma.. kasih.. pang-li..ma. A..ku rasa u-murku t-tak lama la..gi.. sam-paikan.. per..mohonan maa-maafku ke-pa..da A..yaah,” ujar sang Puteri semakin terbata-bata.

“Puteri, bertahanlah! Tak lama lagi kita akan tiba di Kerajaan Gasib,” ucap Panglima Gimpam risau.
“Mmm..maafkan.. a-aku.. pangli..ma… tt-te..rima ka..sih.. kau mau mene-maa..ni.. ak-aku sampai ak..hir ha..yat..ku.” ujar sang Puteri seraya menghembuskan napasnya yang terakhir.
“Puteriiii!!!” teriak Panglima Gimpam histeris.
“Seandainya kau tahu, setulusnya aku menyayangimu, Puteri..” bisiknya lirih.

Akhirnya, Panglima Gimpam membawa jasad Puteri Kaca Mayang yang telah meninggal. Sesampainya di kerajaan Gasib, jasad Puteri Kaca Mayang disambut dengan kepiluan dari seisi penghuni istana.
“Baginda, hamba datang membawa jenazah Puteri Kaca Mayang. Ia meninggal di tengah perjalanan kembali ke sini,” ucap Panglima Gimpam sedih.
“Benarkah?! Tak mungkin! Tak mungkin putriku telah meninggal dunia!” ujar Raja Gasib tak percaya.
“Maafkan hamba, Baginda. Namun, itulah kenyataannya,” Panglima meyakinkan.

“Innalillahi wainnailaihi rajiun. Padahal… padahal.. aku baru berniat menjodohkanmu dengannya,” ucap sang Raja berlinang air mata.
“Ini takdir, Baginda,” jawab sang Panglima.
“Baiklah. Kita harus segera memakamkannya, sekarang juga!” perintah Raja Gasib.
Setelah Puteri Kaca Mayang dimakamkan, Raja Gasib dilanda rasa pilu yang berat karena kehilangan putri semata wayangnya. Ia pun memutuskan untuk menyepi ke Gunung Ledang.

“Wahai, Panglima. Kemarilah sebentar!” panggil sang Raja.
“Baik, Baginda,” Panglima menuruti.
“Ku serahkan mahkota Kerajaan Gasib padamu. Kau berhak menggantikanku sebagai pemimpin kerajaan ini.” ucap sang Raja seraya pergi meninggalkan kerajaan.
“Terima kasih, Baginda. Tapi, aku tak pantas memakai mahkota ini,” jawab Panglima dan ia pun segera bangkit dari singgasana.

Akhirnya, Panglima Gimpam menggantikan posisi Raja Gasib. Namun karena kesetiaannya kepada sang raja, ia pun ikut meninggalkan kerajaan itu dan membuka perkampungan baru yang diberi nama Pekanbaharu. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, nama Pekanbaharu lama-kelamaan berubah menjadi Pekanbaru.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar